Selasa, 04 Januari 2011 | 02:44 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Gayus Halomoan Tambunan, terdakwa kasus penyuapan terhadap aparat penegak hukum mengungkapkan ada enam modus permainan di Direktorat Jenderal Pajak. Modus itu diungkapkan Gayus dalam pleidoi berjudul Indonesia Bersih... Polisi dan Jaksa Risih... Saya Tersisih... di Pengadilan Jakarta Selatan.Menurut mantan pegawai pajak ini, modus pertama adalah melakukan negosiasi surat ketetapan pajak (SKP). Negosiasi terjadi di tingkat tim pemeriksa pajak. Tujuannya untuk menaikkan atau menurunkan nilai pajak. "SKP tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya, baik itu SKP kurang bayar maupun SKP lebih bayar dalam rangka restitusi pajak."
Kedua, kata Gayus, terjadi di tingkat penyidikan pajak, seperti kasus faktur pajak fiktif. Dalam kasus ini, wajib pajak, selain diperintahkan membetulkan SPT masa PPN, akan ditakut-takuti untuk dijadikan tersangka. "Ujung-ujungnya adalah uang, sehingga status wajib pajak tetap sebagai saksi."
Ketiga, penghilangan berkas surat permohonan keberatan wajib pajak. Permohonan ini seharusnya diproses paling lama 12 bulan. "Sesuai dengan Pasal 26 ayat 1 UU No. 16 Tahun 2000, jika permohonan tersebut tak selesai atau belum diproses, Pajak harus menerima keberatan yang diajukan berapa rupiah pun nilai keberatan yang dimintakan."
Keempat, menurut Gayus, adalah dengan penggunaan perusahaan luar negeri, khususnya di Belanda, untuk menggelapkan pajak. Terdapat celah hukum pembayaran bunga kepada perusahaan Belanda, jika lebih dari dua tahun pengenaan pajak penghasilan bisa dikenai nol persen. "Potensi penggelapan mencapai ratusan miliar, bahkan triliunan, rupiah."
Kelima adalah modus yang sering terjadi, yakni dengan jual-beli saham antarperusahaan satu grup. Caranya, pembelian saham diklaim sebagai kerugian investasi. Kerugian ini, kata Gayus, dibebankan sebagai biaya yang menggerus keuntungan perusahaan dari usaha riilnya. "Padahal tidak pernah ada transaksi tersebut secara riil dan nilai jual-beli saham tak mencerminkan nilai perusahaan sesungguhnya."
Keenam, lanjut dia, "Kerugian investasi yang dibukukan dalam SPT tahunan. Hal ini dikarenakan adanya kerugian akibat pembelian dan penjualan saham antarperusahaan yang diduga masih satu grup. Diduga tidak ada transaksi tersebut secara riil dan nilai jual beli saham itu tidak mencerminkan nilai saham yang sesungguhnya. Dengan terjadinya kerugian investasi jual beli itu, wajib pajak tidak membayar PPh Pasal 25," paparnya. Semua modus ini, menurut Gayus, sudah dibeberkan kepada penyidik tim independen kepolisian. Namun, menurut dia, tidak ada satu pun cerita ini yang ditindaklanjuti. "Timbul tanda tanya besar di pikiran saya, apakah Direktorat Pajak memang bersih?" ujarnya.
Gayus menduga, "Ada setting untuk melokalisir kasus hanya kepada saya. Atau Polri tak mampu bekerja secara profesional untuk menjerat mafia pajak sebenarnya."
Mencoba Mengawal Pembangunan Hukum yang Berkeadilan dan Progressif. Perubahan tidak menunggu lahirnya Undang-undang yang baik, tapi harus diawali dari diri sendiri. "Engkau Jelas Bersalah Bila Melakukan Kejahatan, dan Engkau Juga Bersalah Bila Membiarkan Kejahatan Terjadi"
Rabu, 12 Januari 2011
Negara, Gayus dan Penegakan Hukum
ENTAH-apa jadinya negara ini, kalo perilaku koruptif dan praktek mafia peradilan terus terjadi......
coba cermati pembelaan Gayus Tambunan ketika di Persidangan, dia minta dijadikan Staf Ahli Kapolri, KPK dan Kejaksaan Agung.... niscaya dia akan membongkar mafia korupsi dan penegakan hukum (khususnya mafia pajak) sampai pada level Big Fish.
PErtanyaannya adalah...... beranikah negara ini menerima tantangan Gayus....????? rasanya kok gak mungkin....
Namun jika tidak, berarti Negara telah KALAH sama Gayus....
coba cermati pembelaan Gayus Tambunan ketika di Persidangan, dia minta dijadikan Staf Ahli Kapolri, KPK dan Kejaksaan Agung.... niscaya dia akan membongkar mafia korupsi dan penegakan hukum (khususnya mafia pajak) sampai pada level Big Fish.
PErtanyaannya adalah...... beranikah negara ini menerima tantangan Gayus....????? rasanya kok gak mungkin....
Namun jika tidak, berarti Negara telah KALAH sama Gayus....
Urgensi Eksaminasi Publik
Oleh: Zulkarnain, SH. MH.
Andai saja keterbukaan proses peradilan itu bisa diakses dengan mudah oleh publik, mungkin tidak akan banyak praktek menyimpang yang dilakukan oleh para aparet penegka hukum. Andai kata publik bisa memantau dengan leluasa proses penegakan hukum dan segera melakukan public examination terhadap setiap rangkaian proses penegakan hukum yang sudah selesai, mungkin juga tidak akan banyak mafia-mafia peradilan yang bergentayangan di Indonesia ini. Namun sayang, pelembagaan eksaminasi publik tidak mendapat respon yang positif dari “oknum-oknum” yang memang tidak ingin penegakan hukum bersih dan berwibawa.
Ya, sejak tahun 2004 saya bersama kawan-kawan di Jawa Timur dan Jakarta berjuang untuk membudayakan eksaminasi publik pada putusan pengadilan yang sudah inkracht van gewisjde. Bahkan saya masih sangat ingat, ketika itu saya yang “berteriak lantang” agar eksaminasi publik juga merambah pada setiap proses penegakan hukum (dari tingkat penyidikan, pra penuntutan, dan penuntutan serta proses di pengadilan) yang sudah selesai dan tidak harus menunggu putusan final. Namun sekali lagi saya sangat kecewa karena berbagai praktek peyimpangan terus terjadi, dan publik seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa.
Sudah menjadi communis opinio, bahwa lembaga pengadilan (rechtank atau court) dan peradilan (rechtspraak atau judiciary) di Indonesia mulai dari tingkat pertama atau Pengadilan Negeri (judex factie) sampai pada lembaga peradilan tingkat Mahkamah Agung (judex jurist) sarat dengan penyimpangan-penyimpangan yang secara akademis-ilmiah dan konstitusional bertentangan dengan nurani hukum.
Penegakan hukum seyogianya memiliki tujuan utama untuk memberikan keadilan kepada masyarakat, namun tidak jarang putusan pengadilan dan tindakan penegak hukum mengandung banyak kontroversi dan menyimpang jauh dari rasa keadilan. Oleh karena itu, maka terhadapnya perlu dilakukan eksaminasi untuk mengetahui kesalahan dan kebenaran secara formal atau materiil dari putusan tersebut. Meskipun lembaga penegak hukum memiliki badan eksaminasi internal, namun bisa juga lewat partisipasi publik melalui eksaminasi yang bersifat external/public examination. Sifatnya yang eksternal, menjadikan eksaminasi publik lebih terjamin netralitas dan keluhurannya dalam menunjang tegaknya supremasi hukum yang berkeadilan.
Akhir-akhir ini kembali terungkap kasus Gayus Tambunan yang konon menyuap hakim Muhtadi Asnun Rp 50 juta digunakan untuk umrah. Selanjutnya kasus proses penyidikan di Polri yang ketahuan banyak praktek manipulasi bukti (apalagi bukti berupa uang). Dilengkapi dengan kasus hakim Ibrahim yang tertangkap basah menerima suap Rp 300 juta dari pengacara Adner Sirait. Di Jatim terungkap seorang perwira polisi memeras tersangka narkoba. Itu semua baru contoh penyimpangan penegakan hukum kasus pidana, belum termasuk kasus-kasus perdata-niaga yang memang “beraroma duit”.
Maraknya korupsi di peradilan pidana, mulai dari tahap penyelidikan sampai eksekusi menunjukkan bahwa institusi peradilan masih belum berubah. Reformasi peradilan yang salah satu amanatnya adalah pembersihan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di lembaga peradilan, ternyata tidak mendapat sambutan positif dari para penegak hukum. Karenanya wajar apabila dikatakan bahwa peradilan pidana tidak lagi disebut dengan integrated criminal justice system akan tetapi integrated judicial corruption system (sistem korupsi peradilan terpadu).
Disinilah letak urgensi pelembagaan eksaminasi publik, yang mengedepankan nurani dan keluhuran nilai dengan tetap berpegang pada kajian yuridis-ilmiah. Karena tidak mungkin peradilan yang bersih dan berwibawa bisa tercapai, apabila ketertutupan lembaga peradilan terus dibiarkan dan praktik korupsi peradilan terus dipupuk. Namun eksaminasi publik mendapatkan tantangan yang sangat berat, karena keterbukaan proses peradilan hanya simbolik dan tidak substantif. Sehingga sangat sulit mendapatkan bahan dan keterangan untuk dieksaminasi. Tapi jangan sampai menyuap/membeli dokumen untuk mendapatkan bahan yang bisa dieksaminasi.
Ketua Bagian Pidana Fak. Hukum Univ. Widyagama Malang dan Tim Ahli Jaringan Kerja Anti Korupsi Jawa Timur.
Hukum Dibawah Telapak Kaki Cukong
Oleh: Zulkarnain, SH. MH. *
“.....tidak ada akhlak bagi orang yang tidak beragama, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakhlak, juga tidak penting hukum itu bagi orang yang tidak beretika, dan tidak ada etika bagi orang yang tidak mau taat hukum”.
Sengaja saya kutip penggalan intisari khutbah jum’at dari seorang Khotib pada Shalat Jum’at kemaren (22/4/2010) sebagai pembuka obrolan hukum kali ini. Saya juga tergelitik ketika membaca head line Surabaya Pagi (22/4/2010) dengan judul “Pesanan Cukong Judi”. Bila disederhanakan, intinya hukum tidak lagi berwibawa dan etika serta norma sudah tidak lagi dipandang ada oleh sebagian masyarakat jika kepentingan sesaat sudah merasupinya. Apalagi kepentingan itu adalah kepentingan para “cukong” yang sudah menganggap bahwa hukum dan penegak hukum hanya sekedar sarana untuk ‘melanggengkan’ bisnis kotor mereka.
Cukong dalam beberapa literatur selalu menunjuk kepada pengusaha-pengusaha pemilik perusahaan besar di Indonesia. Kata “Cukong” ini sendiri berasal dari bahasa Hokkian (bahasa mandarin “zhugong”) yang lazim dilafalkan di Indonesia oleh suku Tionghoa-Indonesia yang berarti pemimpin; ketua; pemilik; atau bos. Sampai pada tahun 1950-an, cukong masih digunakan sebagai kata untuk merujuk bos atau majikan, namun setelah 1960-an, cukong kemudian mulai mendapat konotasi negatif karena sering dirujuk kepada pengusaha-pengusaha dari suku tertentu terutama suku Tionghoa-Indonesia. Terutama setelah pemerintah Orde Baru menciptakan opini publik bahwa pengusaha (cukong) mayoritas terlibat dalam praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dalam perbisnisan mereka.
Berbagai fakta empirik terkait dengan hukum di Indonesia, jelas bahwa peran cukong tersebut sangat besar, mulai dari law making process (bagaimana hukum itu dibentuk), law implementation (bagaimana hukum itu dilaksanakan), sampai pada law enforcement (bagaimana hukum itu ditegakkan), semua sudah berada dibawah kendali cukong.
Pada tataran law making process, para cukong turut mengendalikan bagaimana rumusan pasal-pasal dalam suatu undang-undang disusun. Para Cukong melakukan “investasi” (in caso: suap) melalui anggota pansus dan fraksi-fraksi untuk mengarahkan bunyi undang-undang sesuai dengan keinginannya. Tidak sedikit undang-undang yang disinyalir merupakan pesanan dari para cukong, khususnya undang-undang terkait dengan bidang perekonomian.
Demikian juga pada tataran law implementation, para pemimpin pemerintahan nampaknya juga tidak berkutik menghadapi kemauan dari para kamu kapitalis (cukong) tersebut. Sehingga pelaksanaa dari setiap peraturan perundang-undangan tersebut seringkali justru melanggar ketentuan hukum demi kepentingan para cukong. Ya... maklum saja, wong mereka jadi penguasa juga karena modal yang diberikan oleh para cukong tersebut. Sehingga harus simbiosis mutualistis kan?. Jika undang-undang terlanjur diberlakukan dan dianggap mengganggu kepentingan para cukong, maka mereka melakukan uji materiil ke MK, seperti pada kasus Uji Materiil untuk legalisasi perjudian, legalisasi pornografi, dan sebagainya.
Bila pembentukan dan pelaksanaan undang-undang sudah dikendalikan oleh cukong, maka semakin meudah bagi mereka (para cukong) untuk mengendalikan penegak hukum pada tataran law enforcement. Apalagi para penegak hukum kita sudah membangun stigma bahwa gaji mereka tidak sebanding dengan tugas mereka. Sehingga uang menjadi “panglima” dalam penegakan hukum. Dan inilah yang dimanfaatkan oleh para cukong, dengan memandang bahwa menyogok/menyuap para penegak hukum itu adalah investasi jangka panjang. Lihat saja pada kasus-kasus besar yang dikendalikan oleh cukong, seperti kriminalisasi pimpinan KPK, mafia pajak, Illegal loging, manipulasi di Bea Cukai, dan kasus yang menyeret para petinggi Polri dan Kejagung.
Jika Menilik pada berbagai fenomena saat ini, sudah menjadi communis opinio doctorum bahwa hukum kita saat ini sudah berada di bawah telapak kaki cukong. Maka kemanapun para cukong itu berdiri, hukum selalu diinjak-injak. Dan hukum tidak akan pernah tegak jika selalu berada di bawah telapak kaki cukong. Kondisi ini menurut Mahfud MD (Ketua MK) menunjukkan bahwa para penegak hukum di Indonesia sudah dibeli oleh cukong. (*)
* Ketua Bagian Hukum Pidana Fak. Hukum Univ. Widyagama Malang dan Tih Ahli Jaringan Kerja Anti Korupsi Jawa Timur.
**) dimuat di Surabaya Pagi: Sabtu 23 April 2010
Alhamdulillah.......
Meski carut-marut negara ini karena berbagai kepentingan yang tidak mementingkan bangsa dan negara, namun ada satu hal yang telah mempersatukan kita, yaitu TIMNAS INDONESIA....
Langganan:
Komentar (Atom)