Oleh: Zulkarnain, SH. MH. *
“.....tidak ada akhlak bagi orang yang tidak beragama, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakhlak, juga tidak penting hukum itu bagi orang yang tidak beretika, dan tidak ada etika bagi orang yang tidak mau taat hukum”.
Sengaja saya kutip penggalan intisari khutbah jum’at dari seorang Khotib pada Shalat Jum’at kemaren (22/4/2010) sebagai pembuka obrolan hukum kali ini. Saya juga tergelitik ketika membaca head line Surabaya Pagi (22/4/2010) dengan judul “Pesanan Cukong Judi”. Bila disederhanakan, intinya hukum tidak lagi berwibawa dan etika serta norma sudah tidak lagi dipandang ada oleh sebagian masyarakat jika kepentingan sesaat sudah merasupinya. Apalagi kepentingan itu adalah kepentingan para “cukong” yang sudah menganggap bahwa hukum dan penegak hukum hanya sekedar sarana untuk ‘melanggengkan’ bisnis kotor mereka.
Cukong dalam beberapa literatur selalu menunjuk kepada pengusaha-pengusaha pemilik perusahaan besar di Indonesia. Kata “Cukong” ini sendiri berasal dari bahasa Hokkian (bahasa mandarin “zhugong”) yang lazim dilafalkan di Indonesia oleh suku Tionghoa-Indonesia yang berarti pemimpin; ketua; pemilik; atau bos. Sampai pada tahun 1950-an, cukong masih digunakan sebagai kata untuk merujuk bos atau majikan, namun setelah 1960-an, cukong kemudian mulai mendapat konotasi negatif karena sering dirujuk kepada pengusaha-pengusaha dari suku tertentu terutama suku Tionghoa-Indonesia. Terutama setelah pemerintah Orde Baru menciptakan opini publik bahwa pengusaha (cukong) mayoritas terlibat dalam praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dalam perbisnisan mereka.
Berbagai fakta empirik terkait dengan hukum di Indonesia, jelas bahwa peran cukong tersebut sangat besar, mulai dari law making process (bagaimana hukum itu dibentuk), law implementation (bagaimana hukum itu dilaksanakan), sampai pada law enforcement (bagaimana hukum itu ditegakkan), semua sudah berada dibawah kendali cukong.
Pada tataran law making process, para cukong turut mengendalikan bagaimana rumusan pasal-pasal dalam suatu undang-undang disusun. Para Cukong melakukan “investasi” (in caso: suap) melalui anggota pansus dan fraksi-fraksi untuk mengarahkan bunyi undang-undang sesuai dengan keinginannya. Tidak sedikit undang-undang yang disinyalir merupakan pesanan dari para cukong, khususnya undang-undang terkait dengan bidang perekonomian.
Demikian juga pada tataran law implementation, para pemimpin pemerintahan nampaknya juga tidak berkutik menghadapi kemauan dari para kamu kapitalis (cukong) tersebut. Sehingga pelaksanaa dari setiap peraturan perundang-undangan tersebut seringkali justru melanggar ketentuan hukum demi kepentingan para cukong. Ya... maklum saja, wong mereka jadi penguasa juga karena modal yang diberikan oleh para cukong tersebut. Sehingga harus simbiosis mutualistis kan?. Jika undang-undang terlanjur diberlakukan dan dianggap mengganggu kepentingan para cukong, maka mereka melakukan uji materiil ke MK, seperti pada kasus Uji Materiil untuk legalisasi perjudian, legalisasi pornografi, dan sebagainya.
Bila pembentukan dan pelaksanaan undang-undang sudah dikendalikan oleh cukong, maka semakin meudah bagi mereka (para cukong) untuk mengendalikan penegak hukum pada tataran law enforcement. Apalagi para penegak hukum kita sudah membangun stigma bahwa gaji mereka tidak sebanding dengan tugas mereka. Sehingga uang menjadi “panglima” dalam penegakan hukum. Dan inilah yang dimanfaatkan oleh para cukong, dengan memandang bahwa menyogok/menyuap para penegak hukum itu adalah investasi jangka panjang. Lihat saja pada kasus-kasus besar yang dikendalikan oleh cukong, seperti kriminalisasi pimpinan KPK, mafia pajak, Illegal loging, manipulasi di Bea Cukai, dan kasus yang menyeret para petinggi Polri dan Kejagung.
Jika Menilik pada berbagai fenomena saat ini, sudah menjadi communis opinio doctorum bahwa hukum kita saat ini sudah berada di bawah telapak kaki cukong. Maka kemanapun para cukong itu berdiri, hukum selalu diinjak-injak. Dan hukum tidak akan pernah tegak jika selalu berada di bawah telapak kaki cukong. Kondisi ini menurut Mahfud MD (Ketua MK) menunjukkan bahwa para penegak hukum di Indonesia sudah dibeli oleh cukong. (*)
* Ketua Bagian Hukum Pidana Fak. Hukum Univ. Widyagama Malang dan Tih Ahli Jaringan Kerja Anti Korupsi Jawa Timur.
**) dimuat di Surabaya Pagi: Sabtu 23 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar